Halaman

24 Mei 2009

National Monument (MONAS)

Few days ago, I visited Monas, The National Monument of Indonesia.
It's on Central Jakarta, near Gambir train station.

The entrance gate is underground and it's marked with TUGU MONUMENT NASIONAL. You might find some souvenirs to be bought, such as T-shirt, Pen, Key holder. Go downstairs, pass the marble tunnel then you'll find the ticket box on the end of the tunnel.
The marble tunnel is wide and it's Air Conditioned :)

There're so many photographers offering their service to capture you with the good Monas background, if only you didn't bring your camera. If I'm not mistaken, it costs Rp. 20,000,-/shot and you can wait the ready-picture in few minutes (kinda polaroid).
I was courius about their technic to shot the good angle, since i've tried and the pics weren't so good. And i was thinking maybe their photo paper was already stamped with Monas background and they just capture the people :D.
Tips : You can capture the photo using digital camera as me, with Monas background and you're in good-clear position. Better you do this before you enter the Monas area or when you're leaving. I was taking the angle from the entrance gate from Pertamina office side. I was standing near the photographer (my friend) and the background was Monas in a full. I love the pic :)

It's opened everyday include the holiday & weekend and closed on the last Monday for each month.
The tickets is Rp. 7,750,-/person for adult (but it's rounded to be Rp. 8,000,-) and Rp.3,750,-/person for students & children (but it's rounded to be Rp. 4,000,-).
It's already included insurance.

On the base of the Monument, there's Museum of Indonesia National History.
There're alot of 3D miniatures of Indonesia Historical & Moments on around its wall.
The Miniatures are completed with explanation text in Bahasa & English.
Tips : The lighting is less, therefore you might use special mode on your camera if you want to capture on it. I'm using the high sensitivity mode without flash on my digital pocket camera.

Then if you want to go to the top of Monas, you should queue to the lift.
Better you prepare yourselves for it, since you might queue for 2 hours. There's only 1 lift and only for 11 persons (included the lift operator).
Tips : Prepare yourselves to queue with removeable chair, mat, snack, good friends to chat, games and other things otherwise you'll be exhausted to stand queuing.
I wondered if there's wifi, I would bring my notebook and connect to internet while waiting for my turn. But, unfortunately, the wifi is not available :(.

On the top of Monas, the area is not so wide. There're binocular telescopes on each corner and they will be worked once we insert the coin. Each coin costs Rp. 2,000,- for 5 minutes usage.
After inserting the coin, you'll be able to use the telescope to see the buildings/sites/places around monas. But I could not see my dorm on Menteng nor my office on Cikini :(

Once you wish to go down, you'll queue again... xixixi... I called it as queuing tour :D.
The lift will take you down to the 2nd floor (not on the same floor as you go up) and go downstairs manually. I was out of Monas area using the same tunnel.

Also I rent a horse carriage to go around with route to istana Negara, Istiqlal Mosque and back to Monas [It's not a whole circle :(]. It costs Rp. 20,000,-/horse carriage and takes 15 minutes.
Tips : Choose the small rubber tyre horse carriage, it's more comfortable.

Hope my info is useful. Have a nice visit to Monas :)
Wait for my next visit review... xixxixi

15 Mar 2009

Kisah Langit Merah - Bubin Lantang

Hollaa... maab lama hiatus, sebenernya pengen ngeblog tapi bingung mo posting apa.

Karena beberapa menit yang lalu, saya baru aja menyelesaikan buku ini, so...
yuk ya yuk... ngeblog review buku lagi.

Cover belakangnya sama sekali ga ada pernyataan bahwa buku ini tentang cinta romantis, genre yang saya suka :). Tapi serangkaian kalimat semacam sajak atau puisi yang membuat saya penasaran waktu saya membaca bagian ini. Akhirnya buku ini terbeli beberapa bulan lalu, tapi baru sempat saya khatamkan karena setelah sekian lama buku ini masih lengkap dengan plastiknya menginap di kos-an dwi. Sampai akhirnya Jum'at kemaren saya kehabisan bahan bacaan dan menyuruhnya mengembalikan pada saya.

Keberanian untuk terus melangkah

Kalimat itu yang tertera di bawah judul buku ini di cover depan. Hm... setelah saya membaca buku ini sampai tuntas, baru saya ngeh kalau kalimat tersebut merupakan summary dari ratusan lembar cerita yang terpapar dengan baik dari buku ini.

Pada beberapa chapter awal, saya harus beradaptasi dan membiasakan otak saya dengan gayanya si penulis membedakan paragrap yang italic dan yang tidak; membedakan mana yang terjadi saat ini dan mana yang masa lampau.
Hm... okay, not a big deal. Mungkin itu caranya Bubin memaparkan ceritanya.

Tapi, saya sempat protes entah kepada siapa. Gimana engga, ada beberapa rangkaian kalimat dalam bentuk paragrap yang diulang2 di beberapa chapter. Tapi lama-lama terbiasa. Okay. Maybe caranya Bubin memaparkan ceritanya. *kok jadi ikutan ngulang?*

Tentang Langit. Saya salut dengan karakternya. Detail banget. Smart, berprinsip, dan caranya mencintai. So pure, so gentle and langka ada orang seperti itu di dunia ini.
Mencinta dengan batasan agama. Puff... *menghela nafas*

Sebenernya sekali lagi, ini bukan genre buku saya. Karena saya jatuh cinta dengan buku2 yang happy ending and live happily ever after dan saya pikir buku ini ga menjanjikan hal itu. Saya menyadarinya, tapi saya tetap memuaskan rasa penasaran saya untuk tetap meneruskan membacanya hingga halaman terakhir.

Buku yang dengan smart *bukan operator koneksi internet yang saya pakai sekarang* membuka mata saya tentang parahnya korupsi di negara kita yang selama ini tidak pernah terpikirkan akan (bisa dan sedang) terjadi. Ternyata buku ini bisa juga membuat saya merinding membayangkan semua korupsi melebihi film horor terdahsyat yang pernah ada... hiiii... ini beneran tentang Indonesia? Negara tempat saya berpijak saat ini?
Entah sekarang saya lebih memilih untuk menjadi apatis atau tetap optimis.

Anyway, di tengah ramainya bribery yang ada, sisi kemanusiaannya tetap kental terasa. Perasaan cinta sejatinya, kegundahannya atas hidupnya, pengorbanannya dalam diam, peluh kerjakerasnya, tersampaikan dengan baik banget! Two thumbs up untuk Bubin.

Ternyata, saya ga nyesel udah beli buku ini, puasnya pol sampe akhir!

6 Jan 2009

oiya, Alhamdulillah saya menang

Hehe.. saya baru inget. Saya kan nge review Bukunya Ika Natassa - Divortiare di blog ini. Kenapa saya ga hola halo di blog ini ya? Saya udah announce di ratu de blog & quinie de blog, tapi disini lupa. Hihihi... maafkan sayah ya blog :).

Yup, alhamdulillah sayah menang dan sedang menunggu kiriman buku yang udah include extended versionnya plus tanda tangannya. Nanti deh, kalo udah dateng, pasti saya poto-poto and will publish it here.

Trus, saya juga ikutan lomba review A cat in my eyes, tapi saya kurang beruntung. Ya eyalah, secara, saya ngeresensi tapi ceritanya kemana2. Ya tentang opini publik lah, tentang saya juga *halah*, temen saya -Pradna- cuma ngakak aja bacanya, katanya resensi saya itu breaking the rule of book review.

Huahahaha... gitu tuh kalo saya keabisan kata-kata untuk ngereview, saya cerita2 aja yang lain. Xixixi...
Btw, temen saya, Kaka, beruntung dapet hadiah hiburan loh! Abisnya lucu banget sih reviewnya. Saya aja ngakak nguling2 baca resensinya. Huahahaha. Selamat ya Ka!

Ya itu ajah dulu. Saya mo update blog ini, tapi lagi bingung mo nulis apa, jadi ya cuap-cuap ga penting aja dulu kaya gini :). Bobo ah... Nguantuk... daaagh.

13 Des 2008

Seekor Kucing di Mata Saya


Saya akhirnya beli buku ini setelah saya baca resensinya si Kaka-Keong Racun. Setelah baca resensinya, saya ngakak abis-abis an. Abisnya lucu banget sih si Kaka ini.
Sambil baca resensinya, saya juga ngeklik beberapa tautan yang ada disana. O… ternyata emang lagi ada contest resensi buku ini toh. Hehehe... jadi saya ikutan juga ah.

Minggu sore setelah kopdar saya cao ke Gramed MM, mo cari buku ini. Sempet rada susah juga sih buku ini, karena saya musti clingak-clinguk nyariin mana sih buku ini. Tapi ga sampe nanya ke SPGnya like Kaka when searched A cat in my ass. Huahahaha. Gokil.

A cat in my eyes by Fadh Djibran published by GagasMedia.
Gambar saya ambil disini

Setelah dapet bukunya, dan tentunya bayar di kasir, saya langsung membacanya di perjalanan pulang ke rumah.

TUBUH.
Chapter pertama yang saya baca.
Tentang definisi Cantik.
Yup… saya setuju dengan Bambang Q-Anees (komentator yang ada di back cover) kalo Fahd meninjau ulang kelaziman. Tentang makna kata cantik yang selama ini terpatri di pikiran saya dan pikiran orang kebanyakan.
Saya ga pernah mau dibilang cantik ketika cantik dimaknai secara sempit.
*maksudnya ? penting ga sih ?? huahahaha*

Saya suka dialog ini,
"Engga adil dong, masa laki-laki boleh pulang malem, tapi perempuan engga boleh"

Itu opini publik yang udah menjadi suatu norma ga tertulis di masyarakat. Kalo perempuan ga boleh pulang malem dan kalo pulang malem, berarti perempuan ini ga bener. Saya pernah dijudge seperti itu sama orang yang baru ketemu saya pada kali pertama.
Temen saya yang dari Surabaya Cuma bengong dan diem aja saat saya cerita every weekend, I arrive home lately, almost midnight. Terdiam karena ternyata emang ga biasa menurutnya.
Well, tiap orang bebas kok berpendapat.

FRAGMEN MALAM.
Saya suka dengan ketidakyakinan Ayah akan semua hal yang diceritakan. Bukan karena saya anggap dia tidak menguasai cerita yang disampaikan, tapi menurut saya itu adalah artian dari Wallahu’alam..

Everybody’s happy on his own way.
Ungkapan yang singkat tapi dalam.

Masa depanku Ratu Malamku
*Hey… there’s my name –Ratu-. Huahahaha..*
Sebuah puisi tentang kerinduan terhadap seseorang di impian masa depan.

KEBERAGAM(A)AN
Saya mendapatinya sebagai kisah surat Al-Kafiruun dari angle yang unik.

And the last, sebelum saya menghabiskan membaca buku ini, saya pikir tiap chapter adalah prosa-prosa yang lepas dan tiada korelasi antara satu dengan yang lain.
But, at the end of book, I found that there’re related to be a complete story. Good.

Fahd bercerita dengan tutur bahasa yang cukup tinggi, kosakata yang banyak dan beragam (sehingga ada beberapa istilah yang kadang bterlalu tinggi untuk bisa saya cerna). His way of sharing his story such an unique one. Keep writing !

31 Okt 2008

Divortiare - Ika Natassa

Huaaa… Ha min satu nih… ini salah satu PR gue yang kepending gara-gara buku gue melalang buana ke sobat-sobat kental gue yang pada rebutan untuk baca setelah gue bilang, "Buku ini keren dan smart !"
Hopefully, i’m one of the lucky five :)

Ayo mulai...
Hehehehe...

Okay, dari depan...
Covernya lumayan begitu simpel dan minimalis, sesuai dengan apa yang diceritain Ika disini, dimana dia terjun langsung dalam desain cover bukunya. Makna perceraian secara harfiah emang tergambarkan dengan adanya pemisahan box his dan her.
Di buku Ika yang kedua ini, nama tokoh utamanya tetep Alexandra. I’m still wondering why she always uses this name. Ika, any comment ? hehehe…

Lanjut…
Karakternya Lexi kayanya karakternya Ika juga kali yah… hehehe… itu sih asumsi saya ajah. Soalnya diantara karakter yang lain, emang karakternya si Lexi yang tegas terbentuk dengan jelas. Atau karena Lexi adalah tokoh utama ya?!
Tapi yang saya bingung, kayanya Ika ga pernah mendeskripsikan kondisi pisik dari si tokoh utamanya. Apa karena bingung juga mendeskripsikan diri sendiri yang ada di tokoh Lexi? Hihihi… just my assumption, Mba Ik!

Oiya… ada salah satu hal yang bikin gue tertarik ama buku ini adalah Grey’s Anatomy. There’re McSteamy, McDreamy and their appearance in their blue scrub.
So familiar for me!
And I guess, Beno –Cardiologist- is inspired by Preston Burke.


Tapi gue sempet bengong juga, apa bener kalo punya orang terdekat - yang notabene adalah dokter spesialis- bakalan nyaranin kita untuk tes ini itu seperti yang di semua episode Grey’s Anatomy ? waduh… serem juga denger respon Beno pas Lexi kena bola or jatoh keseleo di mal. Such scary tests for simple accident?!

Tentang cara mencinta. Gue jadi mikir, apa itu adalah suatu tahapan dalam hidup untuk mencinta? Dulu ketika mereka sama-sama tergila-gila satu sama lain, their way of love was such teenages, mencinta dengan sikap yang positip. Kemudian ketika keduanya sama-sama sibuk dan didn’t get their rhythm to save theirs, they suddenly changed their way to keep loving each other, by fighting and arguing. Begitu yang gue tangkep. Sebenernya mereka sama-sama masih cinta, tapi kayanya dua-duanya gengsi.

Gue suka semua perasaan Lexi yang diceritakan Ika.
Ketika malam dia minta cerai dari Beno. Menurut gue, itu wajar karena semua perempuan pasti akan punya pikiran seperti itu walau emang egois. Tapi, sadar apa engga, bikin gue mikir kalo cewe emang egois untuk hal tertentu, untuk hal yang paling dia sayang because she doesn’t want to lose it.

Ketika dia menyadari apa kata hatinya tentang orang yang dicintainya, lewat paspor & visa. Such a nice way to remind all best travels & memories she ever had.

Gue suka cara bercerita Ika yang tiba-tiba langsung nyeritain New York dan membawa opini pembacanya supaya berpikir tentang New York. Nice way guiding our curiosity to the ‘right place’. Itu yang bikin gue salut. Untuk buku yang yang kedua ini, Ika udah bisa ngebawa esmosi (bukan miss typo kok, bentuk lain dari “emosi “).
Juga, gue suka ending nasi goreng Sabang yang Cuma ceban itu. Ternyata nilai ceban itu setara sama nilai kebersamaan yang langka banget bisa mereka dapetin.

Well, gue suka ama buku ini tentang pemikiran-pemikiran Lexi yang kadang membuat gue berpikir selamay perjalanan otw pulang ke rumah or berangkat ke kos.
Tentang perceraian, yang sampe dengan saat ini di benak gue adalah, NEVER EVER ASKED IT FROM YOUR HUBBY. Secara, nikah bukan suatu hal yang simple semudah membubarkannya dengan talak. Gue setuju kalo Lexi dan Beno emang kurang berusaha lebih keras untuk mempertahankannya. Tapi balik lagi, setiap pasangan mungkin emang punya caranya masing-masing untuk mencinta.

Tamat.

Ps. Ika… gue dapet bukunya dong :). I’m waiting for your third novel. Btw, any contest for your free 3rd novel ?!

special for Chasing the 2nd edition of divortiare
Back to Top